Ilustrasi
Betapa tidak. Akil Mochtar, sebagai hakim tertinggi MK (dan para hakim MK lainnya), seringkali disebut-sebut sebagai 'Wakil Tuhan' atau 'Manusia Setengah Dewa' di negeri ini. Julukan tersebut cukup beralasan, sebab keputusan MK dalam sebuah sengketa hukum di negeri ini tidak bisa diganggu gugat, alias final.
Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir, MK oleh publik masih dianggap sebagai salah satu lembaga Negara yang relatif kredibel, di samping KPK. Meski, memang, sejak dipimpin oleh Akil Mochtar, mulai banyak terdengar suara kritis. Sebagian merujuk pada sinyalemen bahwa sebelum menjadi ketua MK, Akil pernah menerima suap meski tidak terbukti- dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah. Dengan tertangkap tangannya Akil Mochtar, lengkaplah sudah "bukti" tentang korupnya tiga cabang kekuasaan di tanah tercinta ini.
Bahkan ada yang menjulukinya, sebagai lembaga para pencuri dengan plesetan "legisla-thieves", "execu-thieves" dan "judica-thieves". Hal tersebut menunjukkan, tingginya pesimisme publik terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Benar, bahwa masih ada KPK yang, kini, menjadi harapan terakhir. Namun, mencermati perilaku korup di kalangan elite, ditambah dengan masih kuatnya sifat permisif sebagian (besar) masyarakat kita, pesimisme tersebut bisa dipahami. Jangan-jangan, seperti yang pernah disinyalir oleh Bung Hatta puluhan tahun lalu, korupsi memang telah menjadi budaya yang merasuki karakter bangsa ini.
Dalam seminar nasional bertajuk " Korupsi yang Memiskinkan", yang diselenggarakan sebuah lembaga anti korupsi, sejumlah pembicara sepakat bahwa perang panjang melawan korupsi hanya mungkin dimenangkan lewat perombakan sistem pendidikan dari sekadar peduli pada aspek kognitif menjadi lebih fokus untuk membentuk karakter. Hal yang sebenarnya sejalan dengan kesepakatan antara Kementerian Pendidikan Nasional dan KPK untuk memasukkan pendidikan antikorupsi di semua jenjang pendidikan. Tentu saja, kesepakatan ini akan efektif apabila secara simultan dilakukan pemberantasan praktik-praktik koruptif baik di lembaga pendidikan maupun di Kemdiknas itu sendiri.
Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan pada keyakinan, pemberantasan korupsi harus dilakukan simultan. Tindakan kuratif berupa penegakan hukum, harus dilakukan paralel dengan tindakan preventif, dan preservatif. Upaya preventif dimaksudkan guna mencegah internalisasi sikap permisif atas tindak koruptif. Sementara upaya preservatif, dimaksudkan untuk memberi perlindungan dan kemampuan resistensi yang kuat bagi individu atau elemen sosial yang sudah menyerap nilai-nilai antikorupsi.
Selain berkait dengan tuntutan agar lebih memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, kurikulum pendidikan di negeri ini idealnya mempromosikan nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan sikap tidak mudah menyerah demi kebaikan. Nilai-nilai yang kini kian tergerus oleh perilaku konsumtif dan permisif terhadap tindakan tercela seperti korupsi. Filsuf kondang Jerman Peter Sloterdijk (1994) mengatakan, kebijakan masa depan suatu bangsa sebagian besar tergantung pada fungsi visioner dan profetik kaum terpelajarnya.
Pemenang Nobel Perdamaian Oscar Arias Sanchez (2005), pernah memperingatkan bahwa "Berbagai skandal korupsi yang berkepanjangan, mengecewakan hati rakyat. Sementara partai-partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokannya. Perlawanan rakyat, dapat saja muncul kembali di beberapa negara. Dan, tatkala partai-partai politik ditinggalkan rakyat,demokrasi menghadapi risiko menjadi suatu sistem yang lumpuh."
Bagi Indonesia, pengembangan sebuah masyarakat antikorupsi lewat pendidikan secara luas, adalah tugas terpenting masa kini. Per definisi, korupsi berasal dari kata Latin rumpere, berarti melanggar, khususnya melanggar tata cara berperilaku terpuji dan aturan birokrasi. Seseorang dikatakan melakukan tindakan korupsi ketika, dalam melanggar aturan, ia sendiri, keluarga, kerabat, suku, dan kelompok sosial pilihannya memperoleh imbalan materiil maupun fasilitas.
Tantangannya, dalam sebuah masyarakat dengan pola hubungan perkerabatan seperti halnya Indonesia, sang pejabat yang berperilaku berjarak akan dinilai sebagai "kacang yang melupakan kulitnya" berupa kerabat, dan daerahnya. Dalam masyarakat demikian, birokrat ideal yang jujur, pekerja keras, dan 'dingin' seperti digambarkan Max Weber sulit terlaksana.
Intinya, pemberantasan korupsi di negeri yang pernah dijuluki "surga para koruptor kakap" ini, bukan sesuatu yang mudah dan bisa terjadi secara instan. Karena itu, segala upaya, termasuk yang dimulai oleh KPK berupa pendidikan anti-korupsi di semua jenjang pendidikan, perlu didukung semua pihak yang menginginkan bangsa ini memperoleh (kembali) martabatnya yang luhur. [sumber]