Home » , » Jepang & Stigma Bunuh Diri di Apartemen

Jepang & Stigma Bunuh Diri di Apartemen

Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kematian cukup tinggi di dunia. Rata-rata hampir 100 orang melakukan bunuh diri setiap hari.

Rasa kehilangan tentu saja dirasakan oleh anggota keluarga. Namun tidak hanya kesedihan yang mendalam yang dialami oleh mereka karena tempat dimana mereka mati juga memiliki dampak besar bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.

Sebagai contoh, seorang ayah di sebuah apartemen di Sendai. Dua tahun lalu dia kehilangan anak putrinya yang baru berusia dua tahun. Namun ketika perasaan kaget dan sedih masih mengguncang, beberapa lama kemudian dia kembali dikejutkan. Kali ini oleh sebuah surat yang dikirim oleh pemilik apartemen dimana anaknya meninggal.

Pemilik apartemen meminta uang lebih dari US$30 ribu atas tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh anaknya.


Sang ayah tidak hanya merasakan kesedihan karena kehilangan, namun juga harus menanggung beban finansial

"Kami mengadakan pemakaman di akhir bulan Maret. Kemudian tagihan untuk merenovasi flatnya datang di bulan April, setelah itu tuntutan kompensasi atas hilangnya sewa di bulan May. Hal itu terus berlanjut." Ujar sang ayah.

Ya, Jepang memang memiliki tradisi ritual bunuh diri sebagai jalan keluar yang terhormat. Namun semakin bertambahnya jumlah orang yang melakukan bunuh diri, publik mulai merasa khawatir.

Pasalnya keluarga yang ditinggalkan harus menanggung biaya yang tidak sedikit akibat kematian tersebut. Hal ini tidak terlepas dari adanya tradisi di Jepang dimana tempat yang dipakai untuk melakukan bunuh diri biasanya dianggap ternoda dan tidak suci.

"Sembilan dari 10 orang (di Jepang) mengatakan saya tidak ingin rumah ini." ujar Yoshihiro Kanuma, seorang broker rumah yang pernah menawarkan tempat tinggal yang pemiliknya melakukan bunuh diri.

"Orang-orang jepang mungkin berfikir rumah itu telah kotor. Saya kira beberapa orang mungkin berpendapat bunuh diri merupakan hal yang heroik, namun ketika menyangkut rumah, mereka tidak melihatnya seperti itu. Kami merasa rumah itu tidak suci lagi dan akan membawa kesengsaraan. Saya sendiri berpendapat bahwa rumah itu seharusnya tidak ikut bertanggung jawab (atas kematiannya) namun banyak orang Jepang yang merasa sebaliknya." lanjut Kanuma.

Jadi, dibandingkan kehilangan orang yang dicintak, uang mungkin tiada berarti. Namun jika pada akhirnya menyulitkan orang-orang yang ditinggalkan. Semua itu seperti tidak berarti.




 
Support :Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HLOWBOS - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger