Pada tahun 1945, sekitar akhir Perang Dunia II, ketika Jepang menyerah, Jenderal Douglas MacArthur menjadi Gubernur militer Jepang. Asisten Mac Arthur adalah Laurence Rockefeller, salah satu dari empat cucu John D. Rockefeller, pendiri raksasa perusahaan minyak AS, Standar Oil. Tepat sebelum Jepang menyerah, AS telah mempersiapkan invasi besar-besaran dengan menimbun banyak senjata dan amunisi di pulau Okinawa, sebagai basis pertahanannya. Sebuah persediaan persenjataan yang sangat cukup untuk menyerang Jepang. Apa yang pernah terjadi pada semua perlengkapan militer itu?
Oleh Laurence, sebagian besar senjata itu dijual kepada pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh dengan harga sangat murah, atas dasar jasa baik Ho. Alasannya, Ho Chi Minh dianggap telah membantu sekutu dalam melawan Jepang selama perang. Namun demikian, alasan yang sesungguhnya adalah terkait dengan buku yang ditulis oleh Herbert Clark Hoover, seorang insinyur pertambangan dan ahli geologi dunia, yang kemudian menjadi presiden AS ke-31 (1929-1933). Dalam bukunya yang terbit tahun 1920, Hoover menyebutkan adanya potensi cadangan minyak sangat besar pada daerah sepanjang pantai Indo-China, atau yang kemudian dikenal dengan Vietnam.
Masalahnya, saat buku itu diterbitkan, Vietnam masih dikuasai (dijajah) oleh Perancis. Sementara itu, metode survei dan teknik pengeboran minyak lepas pantai belum berkembang seperti sekarang. Jelang kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, kesempatan untuk menguasai daerah cadangan minyak itu terbuka. Caranya, adalah dengan melakukan penjualan senjata dengan harga murah kepada Ho Chi Minh yang dimaksudkan agar dapat mengusir Perancis dari Vietnam.
Rockefeller Laurence berpikir bahwa ia akan bisa “menipu” Ho Chi Minh dengan menawarkan senjata untuk mengusir Perancis, kemudian Standar Oil akan mengambil alih ladang lepas pantai yang belum berkembang. Namun, pada tahun 1954, ketika Vietnam, melalui Jenderal Giap akhirnya berhasil mengalahkan dan mengusir Perancis di Dien Bien Phu, ternyata Ho mengingkari kesepakatan. Mengapa? Karena, ternyata rahasia buku Hoover telah diketahui oleh banyak pihak, termasuk Perancis, Vietnam, Jepang dan Cina. Itulah pula, mengapa sekitar tahun 1950-an, sejak lepasnya Vietnam, Perancis cukup sewot terhadap AS, dimana Presiden Perancis Charles De Gaul ingin keluar dari NATO.
Ho Chi Minh dianggap tidak akan membiarkan Standard Oil seenaknya dalam menguasai ladang minyak Vietnam. Maka, Vietnam pun dicap sebagai negara komunis, karena memiliki pandangan bahwa minyak adalah dikuasai oleh negara, milik masyarakat, sehingga tidak ada ruang bagi perusahaan minyak swasta, seperti Standar Oil untuk mengembangkan bisnisnya. Rencana perlawanan pun disusun dengan “menyewa” anak muda Amerika berperang melawan Vietnam “komunis”. Komunisme menjadi isu Amerika dalam membenarkan intervensi dan peperangan di Vietnam.
Selanjutnya, terjadilah perang Vietnam selama 20 tahun (1955-1975), yang menurut Smith tak lain adalah sebuah “penipuan minyak”. Amerika melawan tentara Vietnam yang senjatanya diperoleh dari AS sendiri dengan harga sangat murah. Pertanyaan yang muncul, meskipun senjata AS sangat unggul dan telah kehilangan 57.000 orang Amerika, dan 500.000 orang Vietnam, mengapa AS tidak berhasil memenangkan “perang?”.
Mengapa Presiden AS memerintahkan tentaranya yang dipastikan mereka tidak akan menang? Mengapa Henry Kissinger, seorang asisten pribadi untuk Nelson Rockefeller (Wapres AS 1974-1977) menghabiskan begitu banyak waktu di Paris untuk pembicaraan damai, dan tidak pernah pergi secara langsung ke Vietnam selama bertahun-tahun? Jawabannya, adalah amat mungkin bahwa memenangkan “perang” itu bukan bagian dari rencana para penguasa bisnis energi. Sangat mungkin, bahwa lamanya waktu “perang” adalah jauh lebih penting dari kemenangan atas perang itu sendiri.
Pada tahun 1950 metode eksplorasi minyak bawah laut lebih dikembangkan dengan meng gunakan ledakan kecil di dalam air, sehingga menghasilkan efek gema suara yang memantul dari berbagai lapisan batuan di bawahnya. Dengan metode ini, surveyor kemudian bisa menentukan lokasi yang tepat, dimana akumulasi cadangan minyak yang besar terdapat dibawahnya. Jika metode ini digunakan di lepas pantai Vietnam, maka Standar Oil dianggap tidak memiliki hak, sehingga Vietnam, Cina, dan Jepang mungkin akan beradu cepat dengan Perancis untuk mengadu pada PBB, bahwa Amerika telah mencuri minyak, dan diminta untuk segera menutup operasinya.
Itulah gunanya perang Vietnam. Kegiatan survei cadangan minyak dapat dilakukan dengan tanpa kekhawatiran pengaduan negara-negara lain ke PBB. Pada tahun 1964, setelah Vietnam terbagi menjadi dua, yaitu Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, serta peristiwa “Teluk Tonkin”, beberapa kapal induk AS ditempatkan di lepas pantai Vietnam, dan “perang” pun dimulai. Setiap hari ada pesawat jet lepas landas menuju lokasi pengeboman di Utara dan Vietnam Selatan.
Selanjutnya, dengan menggunakan prosedur militer yang normal, pesawat itu kembali ke kapal induk, lalu membuang ledakan bom yang tersisa di laut sebelum kembali mendarat. Tentu saja, pengeboman “bohong-bohongan” dilakukan di zona aman yang telah ditentukan, jauh dari posisi oeperasi survei. Para pengamat hanya akan melihat ledakan kecil yang terjadi setiap hari di perairan Laut Cina Selatan dan berpikir itu hanya bagian dari “perang.”
Untuk menutupi fakta bahwa perang Vietnam hanyalah “perang-perangan”, “perang palsu”, atau bukan perang sesungguhnya, maka diperlukan alasan yang memadai untuk mengakhiri perang. Apa yang dilakukan? Pada akhir 1960, Standar Oil merekrut banyak pemuda idealis yang menentang perang dan wajib militer. Perusahaan minyak ini memberikan dukungan penuh pada mereka dalam hal bantuan keuangan dan organisasi.
Mereka, para pemuda idealis tersebut, diorganisir dan sepenuhnya didukung untuk melakukan demonstrasi besar-besaran secara terus-menerus yang menyatakan anti perang Vietnam sepanjang tahun 60-an hingga 70-an. Ternyata, hampir tidak ada demonstran yang tahu bahwa mereka sedang diperalat atau dimanfaatkan oleh kepentingan pengusaha minyak tersebut. Sebuah keadaan yang dianggap memiliki kaitan dengan mundurnya Presiden Nixon atas kasus Watergate, kemudian digantikan oleh Gerald Ford dengan wakilnya Nelson Rockefeller, salah seorang cucu pendiri Standar Oil.
Pada tahun 1995, jelang normalisasi hubungan AS-Vietnam, dalam sebuah siaran TV BBC tentang industri minyak, presiden salah satu perusahaan minyak, anak perusahaan dari Standar, dengan enteng menyatakan,
“.... Itu hanya kebetulan, bahwa kami baru selesai melakukan survei minyak lepas pantai saat hampir bersamaan dengan hari terakhir perang, seperti helikopter terakhir meninggalkan atap kedutaan di Saigon ..“.
Benarkah hanya kebetulan? Pada 15 tahun kemudian, usai penyatuan kembali Vietnam Utara dan Vietnam Selatan (1975), ketika kebanyakan orang sudah lupa tentang “perang,” dan saat Vietnam membutuhkan uang tunai, maka eksplorasi minyak lepas pantai pun mulai dimungkinkan bagi perusahaan swasta asing. Pembagian zona eksplorasi minyak pun dilakukan oleh pemerintah Vietnam, untuk kemudian ditawarkan kepada sejumlah perusahaan minyak asing dari berbagai negara.
Beberapa perusahaan minyak dari 12 negara mengajukan penawaran. Antara lain, Statoil Norwegia, British Petroleum, Royal Shell Belanda, bahkan Rusia, Jerman dan Australia pun termasuk dalam tawaran eksplorasi tersebut. Bagaimana hasilnya? Perusahaan dari berbagai negara yang melakukan pengeboran di bagian ladang mereka hanya mendapatkan lubang kering tanpa hasil minyak. Hanya perusahaan milik “Amerika” yang berhasil menangguk kuntungan miliaran dolar, di ladang Golden Dragon, Blue Lotus, dan White Tiger, ladang minyak di Laut Cina Selatan, lepas pantai Vietnam.
Apakah semuanya itu hanya kebetulan? Apakah perusahaan minyak AS itu hanya sedang beruntung saja? Tentu saja tidak. Perusahaan AS telah tahu letak cadangan minyak, sementara perusahaan-perusahaan minyak negara lainnya tidak. Mengapa lebih tahu? Karena, mereka telah melakukan survei selama 10 tahun, saat perang Vietnam berlangsung. Itulah hebatnya Amerika! Peluang bisnis di Vietnam kian terbuka, dan pada tahun 1995 hubungan Vietnam-AS pun dinormalisasi.
Hmm… sebuah model operasi politik, bisnis, dan militer yang dikemas secara rapi. Tentu saja, dalam prakteknya minyak bukanlah satu-satunya faktor dalam setiap peperangan. Ada banyak faktor lain yang turut menciptakan sebuah perang. Tak terkecuali berlaku pula pada operasi AS di Afghanistan, Irak, di negeri Balkan, pecahan Yugoslavia, seperti Kosovo dan Albania, serta pecahan Uni Sovyet, khususnya Chechnya. Dan, tentu saja AS terlibat di Libya, untuk kemudian ke Suriah dan Iran.
Tentu, dengan model intervensi dan isu yang yang sedikit agak dimodifikasi, antara lain atas nama senjata pemusnah massal, demokratisasi, hak asasi, kesetaraan gender, terorisme, dan seterusnya. Faktor dalam negeri pun turut berpengaruh atas terjadinya intervensi tersebut. Kombinasi dari berbagai variabel yang terkait menjadikan perang menjadi sesuatu yang cukup kompleks. Namun, faktor minyak tetaplah merupakan salah satu faktor dominan dalam banyak perang.
[sumber]