Di samping itu, bagi masyarakat Jawa bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa. Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib.
Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya.
Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.
Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. Sedikitnya ada 6 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini:
1. Siraman malam 1 Sura
Mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan.
2. Tapa Mbisu (membisu)
Tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
3. Ziarah Kubur
ada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa bagi masyarakat. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau.
4. Sesaji
Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe.
Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya (silahkan dibaca dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur.
5. Jamasan Pusaka
Tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
6. Larung Sesaji
Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu.
Dengan memahami pola budaya masyarakat Jawa di atas, tentu menjadi jelas tabir pembeda antara ritual tradisi dengan ritual Islam memaknai bulan pertama dalam kalender hijriyah.
Memang pada prakteknya sering terjadi "percampuran" dalam memaknai bulan Muharram, sehingga batasan dan pokok ajaran / sunnah Rasulullah menjadi kabur. Semua berpulang pada pemahaman masing-masing orang memaknai bulan pertama ini.
[Sumber: Apakabardunia]
[Sumber: Apakabardunia]