Menjelang 1 Oktober '65, kalangan Tjakrabirawa curiga dengan tindakan Soeharto, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, yang memerintahkan batalyon-batalyon elit dari Jateng dan Jatim untuk standby di Jakarta dalam rangka persiapan peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1965. Buntoro heran, mengapa untuk upacara saja didatangkan pasukan elit dan dengan perlengkapan tempur lengkap pula?
Buntoro tahu pasti, pasukan elit yang terdiri dari Yon 454 Diponegoro dan Yon 530 Brawijaya, semua adalah penembak mahir. Perlukah untuk suatu upacara, mengusung penembak mahir dan dalam kondisi siap tempur, membawa senjata lengkap dengan peluru tajam?
Kalangan Tjakrabriawa yang bertugas menjaga keselamatan Bung Karno dan keluarganya semakin curiga. Apalagi, isu Dewan Jenderal sudah beredar di kalangan prajurit Tjakra yang dikabarkan akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965. Untuk itukah maka pasukan penembak mahir dengan perlengkapan tempur
didatangkan?
Pukul 01.00 tanggal 1 Oktober 1965, sepasukan Tjakrabirawa di mana ada Buntoro berkumpul. Pukul 02.00 mereka begerak sesuai instruksi "untuk mengambil para anggota Dewan Jenderal guna dimintai keterangan serta tanggungjawab dengan menghadapkan mereka pada Bung Karno. Yang salah diadili, yang tidak salah dilepas kembali."
Dengan instruksi itu, Buntoro memahami, berarti para Jenderal harus "diambil" dalam keadaan hidup. Di bawah pimpinan Sersan Mayor Satar dengan anggota satu peleton dari Yon I Tjakra di mana ada Buntoro, mereka berangkat untuk "mengambil" Mayjen TNI/AD S. Parman dalam keadaan hidup. Dengan mudah, tugas itu dilaksanakan. Pukul 04.00 mereka sudah membawa Mayjen S. Parman ke Lubang Buaya dan sesuai perintah menyerahkannya kepada Letkol. Untung lewat Serma Satar.
Buntoro bersama teman-temannya kemudian beristirahat karena merasa tugas sudah selesai. Ketika itu dia melihat di Lubang Buaya hanya ada tentara, ya Pasukan Tjakrabirawa itu. "Dan ada pasukan lain, saya tidak tahu itu siapa mereka. Mungkin dari Kodam Jaya," katanya. "Yang jelas, di situ tidak ada orang sipil satu pun, karena memang orang sipil dilarang masuk dan memang tidak ada. Itu kawasan militer," sambungnya.
Jelas, tak ada Pemuda Rakyat, tak ada Gerwani, apalagi Pesta Harum Bunga (yang konon menurut gembar-gembor Orde Baru merupakan pesta seks massal) di tempat itu. Karena lelah, Buntoro dan teman-temannya tertidur. Dan kemudian mereka terkejut karena mendengar rentetan tembakan. Siapa yang menembak dan siapa yang ditembak, Buntoro dan kawan-kawannya bingung. Prajurit Tjakra? Bukankah mereka tertidur bersamanya? Dan bukankah para jenderal harus ditangkap dalam keadaan hidup? Mereka kemudian mendengar bahwa yang ditembaki adalah para Jenderal. Semua mati dan dimasukkan ke dalam sumur.
"Kami merasa dikhianati. Kami harus menangkap jenderal dalam keadaan hidup, utnuk dihadapkan pada Bung Karno. Perintah itu sudah kami laksanakan. Tetapi di Lubang Buaya mereka dibunuh.".
Buntoro dengan teman-temannya berusaha mencari pimpinannya, Serma Satar, dan bersama Serma Satar mencoba mencari Letkol Untung. Tapi yang dicari sudah tak ada.........
sesuai [petikan wawancara dengan HD. Haryo Sasongko, 11 Juni 2001, dari berbagai sumber]
[sumber]